Pusat Dinilai Belum Akui Hak Ulayat Masyarakat Adat dan Pengukuhan Kawasan Hutan di Riau

KATAPERS.COM – PEKANBARU – Koalisi Masyarakat untuk Marwah Riau (KOMMARI) yang terdiri dari pengurus lembaga adat, cendikiawan, dosen, hingga praktisi hukum mendesak Kementerian Kehutanan agar segera menunjukkan bukti proses pengukuhan kawasan hutan di Provinsi Riau.

Desakan ini muncul di tengah keresahan masyarakat atas aksi penyitaan lahan oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas-PKH) yang dinilai merugikan warga.

Ketua Umum KOMMARI M Taufik Tambusai mengatakan, keresahan masyarakat semakin meningkat karena lahan-lahan yang disita Satgas PKH sebagian besar diserahkan kepada PT Agrinas Palma Nusantara, perusahaan milik negara yang baru berdiri pada Januari lalu.

“Kami mendapati ada yang tidak beres dengan aksi penyitaan lahan-lahan itu,” ujar Taufik, Senin (3/11/2025).

Menurut Taufik, Agrinas tidak mengelola lahan-lahan tersebut secara mandiri seperti halnya BUMN perkebunan lain, melainkan melalui skema Kerja Sama Operasional (KSO) dengan pihak ketiga, termasuk kelompok tani, koperasi, maupun perusahaan. Kondisi ini memicu kecurigaan publik akan adanya ketidakterbukaan dalam pengelolaan lahan tersebut.

KOMMARI yang dideklarasikan pada 19 Oktober 2025 menilai ada dua persoalan mendasar terkait lahan di Riau. Pertama, hingga kini pemerintah pusat belum mengakui hak-hak ulayat masyarakat adat, meski telah diatur dalam berbagai regulasi, mulai dari Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, Putusan MK Nomor 35 Tahun 2012, Perda Riau Nomor 10 Tahun 2015 tentang Tanah Ulayat, hingga Perpres Nomor 88 Tahun 2017.

Persoalan kedua, pemerintah belum pernah menunjukkan bukti-bukti proses pengukuhan kawasan hutan di Riau, termasuk hasil penataan batas di lapangan.

“Mulai dari SK 173 Tahun 1986 hingga SK 903 Tahun 2016, kami belum pernah melihat bukti pengukuhan yang sesuai aturan,” ujarnya.

Padahal menurutnya, aturan mengenai pengukuhan kawasan hutan telah diatur sejak PP Nomor 33 Tahun 1970 dan diperjelas dalam sejumlah regulasi berikutnya.

Lebih jauh, Taufik mengingatkan Presiden Prabowo Subianto agar tidak terjebak pada data-data sepihak yang disampaikan oleh Kementerian Kehutanan.

“Kami tahu Presiden Prabowo berpihak kepada rakyat. Jangan sampai beliau menjadi korban dari data yang serampangan. Persoalan ini sudah lama terjadi sebelum pemerintahan sekarang,” ujarnya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal KOMMARI, Abdul Aziz menyebut, tuntutan kedua yakni sampai sekarang pemerintah pusat khususnya KementerianKehutanan, belum pernah menunjukkan bukti-bukti proses pengukuhan kawasanhutan yang ada di Riau, khususnya terkait proses penataan batas di lapangan.

“Mulai dari SK 173 tahun 1986, SK 7651 Tahun 2011, SK 673 tahun 2014, SK 878tahun 2014 dan SK 903 tahun 2016, kami belum pernah mendapatkan bukti-bukti penataan batas kawasan hutan itu sesuai aturan yang berlaku,” ucap dia.

Sejak hadirnya PP 33 tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan, Keputusan Dirjen Kehutanan nomor 85 tahun 1974 tentang Pengukuhan Hutan, Keputusan Menteri Kehutanan nomor 399 tahun 1990 tentang pengukuhan hutan, Keputusan Menteri Kehutanan nomor 32 tahun 2001 tentang Kriteria danStandar Pengukuhan Kawasan Hutan, hingga PP 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, tata cara pengukuhan kawasan hutan itu telah diatur.

“Pengukuhan itu dimulai dari penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan. Dalam proses penataan batas itulah para pihak, baik itu kehutanan, masyarakat ataubadan hukum menyepakati batas-batas,” terang Aziz.

Begitu hasil tata batas disepakati, Berita Acara Tata Batas (BATB) pun dibuat. Lalukehutanan bersama para pihak kemudian memasangi pal batas di batas yang telahdisepakati itu. “Ukuran dan jarak pemancangan pal batas itu juga telah ditentukan oleh aturan yangdibikin pemerintah. Enggak asal-asalan,” cakapnya lagi.

Jadi, menurut Aziz, bila kawasan hutan di Riau telah benar-benar dikukuhkan, BATB yang diteken oleh banyak pihak tentu akan ada, termasuk pal batas tadi. “Sekitar tahun 2021 lalu, kehutanan pernah memasangi patok-patok, bahkan di kebun danpermukiman masyarakat. Pemasangan ini dilakukan sepihak,” katanya.

Yang pasti menurut Aziz, kalau merujuk pada pasal 22 PP 44 tahun 2004 junto pasal 44 ayat 2 Permenhut 44 tahun 2012, bila proses penunjukan hingga pengukuhankawasan hutan dilakukan dengan benar, maka tidak akan pernah ada hak-hakmasyarakat yang terjebak di dalam kawasan hutan. Kehutanan kata Aziz, selalu ngotot bahwa ditunjuk saja, kawasan hutan itu telah berkekuatan hukum.

Perwakilan Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, Datuk Tarlaili, mengimbau agar pemerintah pusat memberikan perhatian dan mengakomodasi kepentingan tanah ulayat serta kesejahteraan masyarakat tempatan bukan justru menyerahkan penguasaan dan pengelolaannya kepada pihak ketiga.

“Kami kecewa kita putra daerah terzolimi dengan adanya program pemerintah yang tidak berpihak, kita minta agar ada perhatian kepada masyarakat adat dan tempatan agar tanah yang sebelumnya masuk tanah ulayat untuk dilepaskan dari kawasan hutan dan dilegalkan, dalam regulasi hak-hak ulayat diatur,” kata dia.

Masyarakat tempatan dan masyarakat adat hingga kini tidak pernah dilibatkan dalam sosialisasi maupun skema pengelolaan kawasan tersebut.**

 

sumber: CAKAPLAH